Panel Forum: Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta
Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta bekerja sama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI (P2P-LIPI) menyelenggarakan Panel Forum. Dengan tema Arah Strategis Rakyat Aceh Dalam Pilpres 8 Juli 2009, pada Kamis, tanggal 25 Juni 2009 di Gedung Seminar LIPI Jakarta. Acara Panel di mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB. Yang dihadiri oleh 250an peserta dari berbagai elemen masyarakat Aceh, mahasiswa, organisasi/lembaga keacehan dan non Aceh. Acara panel tersebut di bagi dalam tiga sesi yaitu pembukaan/serimonial, panel forum sesi pertama dan sesi kedua serta penutup. Sesi pembukaan: dibuka oleh Bapak Sahyan Asmara Deputi Pemuda dan Olah Raga Kementerian Pemuda Dan Olah Raga. Sambutan juga diberikan oleh Bupati Aceh Utara Tgk. Ilyas A. Hamid yang mewakili bupati/walikota di Aceh. Dalam sambutannya Tgk. Ilyas menekankan pada aspek perdamaian dan harapan amannya Pilpres di Aceh dan seluruh Indonesia. Dari Impas Aceh-Jakarta sekaligus ketua panitia Kamaruddin Hasan dalam sambutannya menekankan bahwa Aceh telah mengalami banyak fase dan momentum harapan kemajuan Aceh ke depan. Momentum Sejarah Aceh, proses damai yang melelahkan, MoU Helsinki, Pilkada, Pemilu legeslatif dan momentum Pilpres.
Dalam sesi panel forum pertama menampilkan tim sukses JK-Win Indra J. Piliang dan dari SBY-Boediono, menampilkan Muslim yang dipandu oleh Kamaruddin Hasan sebagai moderator. Indra J.P, menguraikan keberhasilan JK dalam proses damai Aceh, bahwa persoalan Aceh menjadi perhatian yang sangat serius bagi JK. Dan JK lah yang mengurai benang kusut Aceh. Sedangkan SBY tidak begitu paham tentang Aceh. Aceh menjadi sangat penting bagi JK, walau secara kuantitas hanya 2jutaan pemilih namun secara kualitas Aceh menjadi wacana yang sangat menarik, dalam kampaye isu Aceh digunakan hamper 50 persen. Dan saling mengkalim keberhasilan. Muslim, membantah bahwa bukan hanya JK yang berjasa dalam penyelesaiaan Aceh, namun atas persetujuan dan perintah SBYlah konflik Aceh diselesaikan. Dalam sesi ini terjadi perdebatan yang demokratis, dengan banyaknya peserta yang ingin memberikan komentar dan pertanyaan, membuat kamaruddin Hasan kualahan mengatur waktu, sampai jam 13.30 baru bisa di hentikan. Dalam sesi ini, hal yang menarik dikomentari oleh sekjen IMPAS Aceh Jakarta Zulkarnaini Abdullah, bahwa Aceh sekarang tidak membutuhkan penguasa yang otoriter, dengan hegemoni, dan pola kerja yang top down, namun dibutuhkan pemimpin yang kreatif, inovatif dan yang penting dekat dengan kalangan pemuda sebagai agen perubahan Bangsa.
Selesai makan siang, sebelum sesi kedua dimulai, DR.Ir. Mustafa Abubakar sebagai sesepuh Masyarakat Aceh-Jakarta dan ketua Bulog RI memberikan ceramahnya tentang masa depan Aceh pasca Pilpres 2009. Mantan Gubernur Aceh ini menjelaskan bahwa yang penting Aceh sekarang sudah aman dan damai sudah ditangan, hikmah tsunami sebagai kuasa Allah yang menimbulkan solidaritas global dan juga timbulnya damai. Aceh masih kaya akan sumber daya alam namun kita mesti berpikir pasca sumber daya alam, karena SDA bisa habis, sumber daya manusia lebih penting. Aceh sudah memiliki modal untuk membangun dan mencapai kemakmuran dengan implementasi MoU lahirnya UUPA yang harus diperkuat dengan PP dan Qanun. Aceh mesti membangun kembali SDM dengan poros Darussalam, Ilmuan mesti terlibat dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga lain. Mapping kebutuhan SDM mendesak dilakukan di Aceh, karena banyaknya Ilmuan menjadi syuhada ketika tsunami dan konflik.
Sesi kedua panel forum menampilkan Wakil Gubernur M. Nazar, S.Ag dengan makalah “Pilpres 2009 Harus Melahirkan Pemimpin Bangsa, Bukan Sekedar Penguasa”. Prof. DR. Ikrar Nusa Bhakti pengamat politik LIPI, M. Nasir Jamil, S.Ag dari Forbes DPR-RI Aceh, Muara Siraid Anggota DPR-RI juga sebagai Tim Sukses Mega-Prabowo dan Fakrul Tripa mewakili KPA yang di damping oleh Arief Jamaluddin, M.Si.
Wagub, menjelaskan, diperlukan pemahaman kembali tentang Aceh secara menyeluruh, Aceh mesti dilihat suatu identitas politik, etnisitas, sosial budaya, hukum dan ekonomi yang sudah lama terbentuk sebagai sebuah dialektika sejarah yang berkesinambungan. Aceh telah melalui fase-fase proses damai yang sangat melelahkan, dengan pengorbanan yang tiada henti. Untuk itu momentum yang ada tersebut menjadi tahapan baru dalam membangunAceh yang demokratis, berkesinambungan dan bermartabat. Kita ketahui konflik di Aceh berakhir di meja perundingan bukan dengan pola militeristik. Maka kita perlu memaksimalkan momentum yang ada, termasuk momentum perdamian termasuk Pilpres 2009. Kita membutuhkan pemimpin bangsa yang bukan sekedar penguasa, dengan melakukan menjaga perdamian dan pembangunan secara berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat Aceh secara aktif terutama di tingkat Nasional. Penguatan desentralisasi dan UUPA dengan PP dan Qanun. Pemimpin Bangsa yang mampu menjadi fasilitator dan mediator bagi berbagai masalah bangsa, khsususnya Aceh dengan semangat yang tinggi terhadap perdamian dan hak-hak rakyat Aceh. Maka Siapapun Presiden dan Wakil Presiden nanti harus dapat memahami kelebihan dan kekurangan Aceh, serta melihat lagi sejarah terdahulu Aceh sehingga mampu mempertahankan perdamaian dan melanjutkan pembangunan secara berkesinambungan. M. Nasir Jamil, berpendapat bahwa siapaun yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden nanti dapat mewujudkan otonomi khusus yang benar-benar khusus bagi Aceh dengan UUPA, sehingga Aceh bisa menjadi model bagi otonomi di Indonesia. Rakyat Aceh bisa mencermati Pilpres kedepan siapa yang sesuai dengan pribadi masing-masing. Aceh dapat lebih baik dengan tidak melihat kelebihan dan kekurangan siapa yang memimpin nanti. Prof. Ikrar, Pemerintahan Aceh di pimpin Irwandi-M. Nazar merupakan generasi I (pertama) dimana dipilih oleh rakyat dimasa era baru di Aceh pasca konflik. Rakyat Aceh dapat mengetahui mana pimpinan yang lebih baik untuk Aceh. Fahrul Tripa, untuk memilih pimpinan kedepan diwajibkan pemimpin yang yang amanah, fatanah dan fisioner dalam menjalankan kepemimpinan. Ciri-ciri negara yang bermasalah, menurutnya pimpinan tidak mermoral, pimpinan bermasalah, KKN, Pemerintah kehilangan wibawa dimata rakyat, kepercayaan internasional memudar, mengembalikan Aceh dengan mempunyai Identitas yang jelas, Aceh yang bermartabat dan menjalankan amanah dari UUPA, juga diisi dan menjalankan cita-cita rakyat Aceh. Mauara Siraid, melakukan trobosan bagi Indonesia, arah mana yang dituju. Dalam proses ketidakadilan rakyat Aceh kami sangat memperjuangkan keinginan rakyat Aceh dan melihat reputasi dan kridebilitas pimpinan nantinya. Ada dua hal yang dapat diperjuangkan yaitu dengan mendorong diperbesar anggaran masuk ke Aceh, anggaran tersebut dapat mempunyai dampak yang baik bagi kemiskinan dan pengangguran, dan itu akan kami lakukan. Saya kira rakyat Aceh, masing-masing kita punya pilihan. Perdebatan kemudian muncul berkenaan dengan UUPA, PP, Qanun. Nama Aceh, Perdamian dan pendidikan. Ketua Impas Aceh-Jakarta A. Murtala, M.Si, juga memberi tanggapan menekankan figure pemimpin bangsa, baginya pemimpin bangsa kedepan yang mampu menterjemahkan multikulturalisme dan fluralisme bangsa Indonesia.
Kesimpulan panel forum:
Aceh telah melalui pengalaman sejarah yang gemilang dan juga pengalaman yang mengakar terhadap konflik Aceh sepanjang sejarah. Momentum kedua adalah gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004. Mumentum ketiga, Memorandum of Understanding (MoU) Damai di Helsinski tepatnya pada 15 Agustus 2005. tempat menggantungkan masa depan rakyat Aceh. Keempat, Pilkada yang berlangsung 11 Desember 2006 secara demokratis. Para pemimpin yang terpilih dapat dikatakan sebagai representasi terbaik keinginan rakyat. Momentum kelima adalah lahirnya Enam Partai Lokal yang lolos verifikasi faktual KPU pusat, salahnya satunya adalah Partai Lokal mantan GAM. Momentum keenam, tingginya dinamika perpolitikan Aceh dalam pemilu legislatif 2009 dan Partai Aceh mengungguli ke lima Partai Lokal lainnya. Momentum ketujuh adalah strategi rakyat Aceh dalam menentukan Presiden dan wakil Presiden pada Pilpres 8 Juli 2009, mengingat bertahan tidaknya damai Aceh juga sangat tergantung pada Pemerintah baru yang akan terpilih dalam Pilpres 2009.
Untuk itu, pelibatan semua komponen masyarakat Aceh dalam proses perdamaian dan pembangunan berkelanjutan Aceh secara bermartabat merupakan perekat yang dapat mencegah rusaknya perdamaian. Mendesak kita lakukan sebagai langkah preventif adalah penyadaran kita semua dan publik. Harapannya agar semua menyadari betapa mahalnya harga perdamaian yang telah kita capai ini, dan cita-cita mempermanenkan kedamaian. Catatan ini hendak menyegarkan ulang memori kita tentang satu alternatif pemikiran agar Aceh bisa meninggalkan masa transisi ini se-segera mungkin. Intervensinya diarahkan pada usaha menemukan domain yang lebih efektif. Untuk itu, siapapun yang akan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI dalam Pilpres 8 Juli 2009 harus tetap konsisten dan senantiasa berkomitmen untuk menjaga perdamaian abadi di Aceh serta membangun Aceh secara berkelanjutan, demokratis dengan konsep desentralisasi. Pemerintah Pusat dan daerah mesti dengan serius ihklas dan tetap konsisten untuk mengimplimentasikan butir-butir MoU Helsynki 15 Agustus 2005 dalam setiap kebijakan tentang Aceh. Pemerintah Pusat dan daerah mesti fokus terhadap agenda-agenda pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat yang sudah direncanakan untuk Aceh pasca konflik dan tsunami. MoU Helsinki 15 Agustus 2005 harus dijadikan sebagai titik awal dan momentum menuju perdamaian abadi di Aceh. Kepada semua elemen dan komponen bangsa dan masyarakat harus membangun rasa saling percaya dalam menuju pembangunan masa depan Aceh yang berkeadilan ekonomi, politik dan sosial budaya.
Wassalam : Zulkarnaini Abdullah
Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh – Jakarta
Office : Jln. Setiabudi Barat No. 01
Jakarta Selatan 12920
Telp. 021 – 71454371,
Email : impas.aceh@gmail.com
http://www.impasacehjakarta.wordpress.com